Grup Karawitan Bojong Laras saat melakukan latihan rutin di Mapolrestabes Semarang |
SIAPA
sangka, grup karawitan ini beranggotakan Polwan (polisi wanita). Mereka adalah
anggota Polri di jajaran Polrestabes Semarang. Grup tersebut bernama “Bojong
Laras”.
Bukan
memegang peluit, tapi mik. Bukan kesan “sangar” tapi kelembutan. Mereka tengah melantunkan
gending “Caping Gunung” di sela mengemban tugas sebagai abdi negara. Mereka
juga tanpa beban bermain kelembutan dengan cara menabuh seperangkat alat
gamelan.
Diakui
atau tidak, era post modernisme seperti
saat ini, budaya lokal semakin tergilas oleh kerata budaya kapitalisme.
Tradisi-tradisi lokal pun kian hilang tenggelam ditelan zaman. Maka keberadaan
grup karawitan Bojong Laras yang masih eksis di tengah gempuran budaya Barat
ini patut diacungi jempol.
Pengurus
Karawitan Bojong Laras Slamet mengatakan, Bojong Laras telah lahir sejak 21
tahun silam. Grup kesenian Jawa ini dirintis oleh senior Inspektur Intenden
(Sekarang Kombes-red) Salempang pada tahun 1990. “Para
pendahulu mendirikan grup ini sebagai upaya nguri-uri budaya Jawa ala polisi,”
katanya.
Menurut
Slamet, selain berkesenian, melalui Bojong Laras, sebagai media refreshing bagi para anggota polisi di
sela-sela menjalankan tugas negara. “Di samping itu agar budaya jawa yang agung
itu agar tak punah,” tandasnya baru-baru ini.
Dijelaskan,
nama Bojong Laras sendiri mengandung arti yang cukup filosofis. Kata “Bojong”
adalah nama Komando di Polrestabes, sedangkan “Laras” artinya kesesuaian, keselarasan
dan keharmonisan. Ini merupakan manifestasi musik yang mampu menyatukan unsur
berbeda. Sehingga makna itu menjadi sebuah kebaikan. “Coba kalau kita
mendengarkan alunan gending jawa. Ada
spiritualitas yang berbeda. Memahaminya terasa adem di hati lho,” ujarnya.
Ia
mengakui, para anggota polisi kesehariannya menjadi abdi negara memang cukup
melelahkan. Sebab dibutuhkan konsentrasi kerja dan tanggungjawab besar. Namun
hal itu tetap dilaksanakan dengan ikhlas. Bahkan, adanya karawitan Bojong Laras
bukan sekedar sebagai hiburan, namun juga mampu memediai polisi untuk
berbudaya. “Kami merasa tidak terbebani, justru sangat menyenangi suasana yang
akrab dan bersahaja,” ujarnya di sela-sela latihan yang biasa dilakukan setiap
hari rabu siang, pukul 14.00 di Gedung lantai 2 SPKT Polrestabes Semarang .
Namun
ia juga mengaku tak gampang merawat keutuhan grup tersebut. Bojong Laras sempat
mengalami pasang surut karena pergantian personil. Hingga pada awal 2011, grup
ini perlahan bangkit. “Memang tak seluruh pengurus wanita, akan tetapi rata-rata
personilnya didominasi polwan,” tambahnya.
Hingga
saat ini tercatat 12 polwan, masing-masing Aiptu Sumiyati yang selalu setia
menjadi penabuh Peking/Saron Penerus, Bripka Endang (penabuh Saron), Aiptu
Warsi (penabuh Saron), Bripka Santi (penabuh Demung), Aipda Rusmini (penabuh
Bonang), Bripka Ani (penabuh Bonang Penerus), Aiptu Sriyatmi (penabuh Gong),
Briptu Mega (penabuh Kenong), Briptu Novida (penabuh Sletem), dan Aiptu Dhika
(penabuh Waranggana).
Mereka
berlatih di bawah pembinaan Kepala Bagian Sumber Daya (Kabag Sumda) Polrestabes
Semarang , AKBP Dwi Nurwardani yang juga terlihat turut “unjuk gigi” nyinden
langgam Jawa. “Untuk menjaga kualitas dan kemurnian seni karawitan, kami
mengundang pelatih atau guru dari luar Polri,” tambahnya.
Adanya
latihan rutin itu, membuat suasana kantor polisi ini menjadi mistis. Sebab, bunyi-bunyi
khas nada pentatonik dari alat-alat gamelan itu cukup kontras dengan suasana
kantor polisi sewajarnya. “Untuk ke depan, kami berharap peralatan bisa lebih
lengkap, sehingga anggotanya juga tambah semangat,” pungkas Dwi. (Mughis/LSP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar