Hilangnya Budaya Unggah-ungguh


Hilangnya Budaya Unggah-ungguh

MASYARAKAT Jawa, khususnya Semarang, barangkali akan kehilangan budaya unggah-ungguh. Diakui atau tidak, hingga saat ini budaya jawa, khususnya bahasa jawa mengalami krisis ajaran. Betapa ironisnya jika bahasa jawa yang notabene bahasa sendiri telah kehilangan peminat untuk memelajarinya, dibanding bahasa Inggris.
Ilustrasi (diambil dari http://static.inilah.com)


Secara sadar, kereta budaya terus berlangsung, namun betapa bahasa elit “Inggris” begitu mendominasi di setiap lini kehidupan kini. Baik di dalam pergaulan sehari-hari, komunikasi akademisi maupun dunia kerja. Seolah-olah masyarakat kita dituntut memelajari bahasa Inggris yang merupakan kebudayaan barat itu. Tak heran, jika masyarakat sekarang memilih mengursuskan anaknya pada bahasa Inggris. Sementara kursus bahasa Jawa sendiri justru malah menjadi asing di negeri sendiri.

Sehingga krisis ajaran budaya Jawa itu barangkali sudah dalam kondisi parah. Sudah selayaknya masyarakat dan pemerintah, untuk prihatin dan ikut memikirkannya solusinya.
Secara karakteristik masyarakatnya, hilangnya budaya Jawa, khususnya bahasa jawa makin hari mulai tampak memudar. Bahkan, masyarakat akan berada pada titik kehilangan unggah-ungguh.

Sebagaimana diungkapkan mantan Guru Besar UNS, Prof Sunarno Rekso Suharjo menilai gejala memudarnya budaya Jawa sedang menjadi bahan kajian bagi dunia pendidikan agar dapat dicari jalan penyelesaian secara metodologis dan rasional. Sebab, kalau tidak diperhatikan dan dicarikan titik temu, bisa saja budaya Jawa, benar-benar hilang. “Kita semua menjadi khawatir bila budaya Jawa, kemudian digeser dengan budaya luar negeri yang tidak cocok dengan perilaku wong njowo,” katanya belum lama ini.

Dia mengatakan, salah satu cara agar masyarakat tidak kehilangan budaya itu, perlu dihidupkan kembali pengamalan sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Kalau diperhatikan dengan seksama, kelima sila yang terdapat dalam Pancasila, merupakan manifestasi budaya asli Jawa. ”Sekarang yang terjadi kebanyakan murid dan mahasiswa tidak lagi memandang penting falsafah Pancasila,” katanya.

Terlebih jika benar mata pelajaran Pancasila akan dihapuskan dari kurikulum sekolah di Indonesia. Keprihatinan lunturnya ajaran Jawa itu, lanjut dia, bukan bentuk keegoisan daerah. ”Kita tidak berbicara soal kedaerahan. Kita bicara tentang budaya nasional yang taat pada Tuhan, berkeadilan dan menghormati hak setiap orang. Itu inti utama yang ingin dicapai. Seperti juga kita menghargai budaya unggah-ungguh,” tandas dia.

Dia mencontohkan, masyarakat sudah tidak lagi memperhatikan bahasa Jawa kromo inggil. Padahal bahasa itu, sebagai bentuk unggah-ungguh dengan orang yang lebih tua. "Itu tugas pemerintah dan masyarakat Solo,” kritiknya. (Ario Bahak)


2 komentar:

  1. Jadi ingat pengalaman pas beli pecel ma temen di Masjid Baiturrahman

    BalasHapus
  2. sedih kalau aku melihat generasi jawa yg tidak bisa unggah-ungguh,berpakaian yg tdk sopan & tidak lagi mengenal bahasanya sendiri (terutama bahasa kromo)

    BalasHapus