Pungli di Polrestabes Semarang Menyeruak
Pungutan liar (pungli) jelas membuat jengkel bagi masyarakat. Terlebih dilakukan oleh polisi. Bukan persoalan besar kecilnya uang penarikan, namun perbuatan menyalahi hukum itu masih kerap terjadi dan mengganggu kenyamanan.
Pasalnya, ruang pengaduan masyarakatpun sarat pungli. Diduga, di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Mapolrestabes Semarang juga terjadi praktek pungli macam itu oleh segelintir oknum polisi.
Seperti yang diceritakan Sitok (bukan nama sebenarnya) ini. Pada Senin (30/1) sekitar pukul 11.00. Dia mengaku ditarik uang (pungli-red) itu. Kedatangan Sitok ke kantor polisi siang itu bermaksud melapor karena neneknya hilang beberapa waktu lalu.
“Saya baru tahu jika melaporkan musibah kehilangan kok ditarik uang. Katanya (petugas), uang itu digunakan untuk publikasi di media massa. Baik di televisi maupun di koran agar nenek saya yang hilang bisa cepat ketemu,” paparnya kepada
wartawan, kemarin.
Dia mengaku diminta menyerahkan uang dua amplop. Amplop yang pertama digunakan untuk wartawan. Sementara amplop yang kedua untuk polisi sendiri. Meski terasa mengganjal, Sitok pun tidak bisa berbuat banyak kecuali menyerahkan dua buah amplop tersebut. “Saya menyerahkannya kepada seorang petugas yang piket sekitar pukul 11.00,” ungkapnya.
Namun saat ditanya berapa isi amplop tersebut, Sitok tidak berkenan menjelaskannya. Penyerahan amplop tersebut pun saat berada di salah satu ruangan SPKT Polrestabes. “Baru kemudian saya menandatangani berita laporan,” tambah Sitok.
Dirinya juga mengaku tidak mempermasalahkannya jumlah nominalnya uang penarikan itu. Namun Sitok heran dan baru mengetahui jika laporan musibah saja ternyata ada penarikan. “Sebenarnya saya hanya bertanya-tanya hal semacam itu sebetulnya sesuai
prosedur atau tidak sih? Atau malah prosedurnya seperti itu? Demi nenek saya ketemu okelah ndak papa," terang pria penjual nasi kucing di kawasan Tugumuda itu.
Sementara itu, sejumlah wartawan yang ditemui oleh Sitok lantas menjelaskan bahwa tidak ada penarikan uang. Apalagi untuk publikasi di media. Bukan hanya Sitok, seorang pelapor lain sebut saja namanya Intan (18), warga Semarang juga menceritakan hal serupa. Pada Jumat (27/1) sekitar pukul 14.00.
Dia ke Mapolrestabes melapor telah kehilangan sebuah kartu ATM. Setelah selesai, dimintai keterangan terkait identitas, dirinya dimintai uang dengan dalih uang kas. “Awalnya, saya tanya kepada pak polisi itu. Bayar nggak sih pak? Iya, isi kas saja,” katanya menirukan jawaban petugas.
Tak lama kemudian, salah seorang petugas menyodori stopmap di meja. Setelah Intan menaruh uang di stopmap, petugas pun menutup stopmap dan dimasukkan ke laci meja. Berdasarkan investigasi yang berhasil dikumpulkan, praktek pungli tersebut bisa menimpa siapa saja yang melapor. Mulai dari kasus kehilangan KTP, ATM, pencurian, penggelapan, orang hilang dan kasus-kasus kriminal lain. Petugas tidak memaksa kepada pelapor. Tapi bisa dipastikan bakal dipersulit laporannya. Besaran
uang berkisar antara Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu.
Transaksi Kekeluargaan
Ditengarai juga terjadi “transaksi kekeluargaan” yang diuangkan. Misal saja, sebelum laporan tersebut benar-benar resmi ditulis. Petugas akan menelepon terlapor, jika urusan bisa diselesaikan secara kekeluargaan itu berhasil, maka pelapor akan dikenai biaya “upah” untuk oknum polisi.
Pengamatan di lapangan juga menemukan bahwa tidak semua dari petugas di SPKT melakukan pungli. Ada tiga kelompok yang secara bergiliran berjaga dalam satu minggu. Dari ketiga kelompok piket tersebut hanya satu kelompok saja yang terindikasi praktek pungli.
Sementara itu, Kasubag Humas Polrestabes Semarang, Kompol Napitupulu, saat dikonfirmasi kemarin mengatakan, pihak kepolisian tidak memungut biaya sepeser pun kepada warga yang melapor ke SPKT. "Tidak ada pungutan apapun. Juga tidak ada oknum yang memungut uang. Kalau memang ada dan terbukti, maka akan ditindak tegas oleh Provos," tandas Napitupulu. (abm)