Akibat kelakuan broker yang bekerja sama dengan petugas analis kridit BCA (Bank Central Asia), BCA Pemuda kebobolan Rp 2
5 Milyard. Pasalnya, bank mengucurkan dana pinjaman kepada dibitur fiktif juga dengan syarat-syarat fiktif yang diajukan oleh broker.
Broker tersebut diketahui bernama Suryo Antoro Soerjanto (47) warga Tawangsari Perumahan Puri Anjasmoro Semarang Barat dan petugas analis BCA berinisial DR (38) warga Graha Padma Semarang Barat. Hingga saat ini kedua tersangka masih menjalani pemeriksaan intensif penyidik Reskrim Sus Polda Jateng.
Kepada wartawan, Dir Reskrim Sus Kombes Pol Drs Firli mengatakan, terungkapnya kasus tersebut bermula dari adanya temuan transaksi yang mencurigakan atas nama 6 nasabah dan terjadinya kemacetan kridit. "Dari temuan itu kemudian kita lakukan penyelidikan dan ternyata ada 6 calon nasabah yang memberikan jaminan assetnya kepada broker dengan inisial SA," terang Kombes Firli kemarin.
Dari 6 calon nasabah ini oleh tersangka Suryo Antoro dipecah menjadi tiga nasabah fiktif yang kemudian diajukan kridit KPR Badan Usaha ke BCA Pemuda yang sebelumnya oleh Suryo telah dipenuhi syarat-syarat pengajuan menggunakan dokumen-dokumen fiktif atau palsu. "Dari pengajuan itu kemudian diproses oleh pihak Bank, namun tidak dilakukan analisa kridit oleh tersangka DR, namun DR membuat laporan seolah-olah telah melakukan analisis kridit sebagaimana mestinya," tambah Firli.
Dari analisis yang dibuat oleh tersangka DR, maka BCA Pemuda menyetujui pengajuan kridit itu dengan total pinjaman Rp 25 milyard. Uang tersebut kemudian dipergunakan oleh tersangka Suryo untuk membayar tanah atau bangunan kepada pemilik asset yang sebenarnya. "Nasabah yang sebenarnya misalnya punya asset senilai Rp 1 milyar, tapi diajukan oleh SA asset tersebut senilai Rp 5 milyar. Setelah cair, pemilik asset diberi sesuai dengan kesepakatannya dan sisanya masuk kantong SA," tambah Firli.
Apakah ada mark up oleh broker ? Firli mengatakan bukan masalah mark up atau tidak, melainkan pengajuan kridit itu menggunakan dokumen-dokumen fiktif karena petugas analis tidak melakukan tugasnya. "Seharusnya petugas analis ini mengecek apakah benar ada asset seperti yang diajukan, layak atau tidak mengajukan dana sebanyak itu dengan nilai assetnya, tapi petugas DR ini tidak melakukan perannya itu," ujarnya.
Karena tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya, maka masuk kategori pelanggaran UU Perbankan Pasal 49 yang mana perbuatan yang menimbulkan perbuatan pemalsuan. Apakah DR ini mendapatkan keuntungan ? Firli menduga DR mendapatkan keuntungan tapi masih dalam penyelidikan lanjutan. Dan sebetulnya tanpa mendapatkan keuntungan, dalam UU Perbankan, jika dikatakan melanggar secara formil, maka tidak perlu dibuktikan pelanggaran itu."Kalau mendapatkan imbalan atas perbuatannya itu, masuk kepada pasal berbeda, bukan pasal 49 UU Perbankan," pungkas Firli. (abm)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar