Bagaimana tidak, bangunan yang melahap dana APBD Jateng 2003-2005 senilai Rp 7 miliar itu hingga saat ini dibiarkan mangkrak sia-sia. Gedung pementasan itu sunyi senyap alias tidak pernah digunakan untuk pentas.
Sejumlah fasilitas hanya diam tak dimanfaatkan. Tersedia balkon penonton yang sanggup menampung kurang lebih 500 orang. Dilengkapi rak lighting beserta 2 bar 13 lampu standar pementasan teater, listrik berdaya 2300 Va, sound system, genset, 2 transit, galeri seni rupa, teater terbuka, mushola dan ruangan ber-AC. Namun inventarisasi barang tidak jelas. Bahkan diduga banyak properti pementasan teater yang hilang.
Seniman senior asal Tegal, Eko Tunas yang sempat dimintai komentar oleh wartawan mengatakan, matinya kegiatan kesenian di gedung PKJT disebabkan karena manajemen buruk. Pengelolaan dipegang oleh orang yang bukan ahlinya.
"Selama orang-orangnya itu-itu saja ya mustahil bisa maju. Sebenarnya bisa, namun harus dipegang oleh orang yang tepat. Artinya orang yang berkompeten dalam mengelola kesenian. Jelas butuh dana, kemudian melibatkan event organizer profesional," ujarnya beberapa waktu lalu.
Bahkan Eko Tunas sempat menantang, andaikata dirinya menjadi pengelola, ia berani menjamin gedung tersebut hidup dan akan bisa meramaikan Kota Semarang. Lantas bagaimana caranya?
Tak perlu dengan cara-cara muluk-muluk, seperti diskusi, seminar sastra ataupun pembacaan puisi yang melelahkan. Toh itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja. "Cukup dengan gitar tunggal saja, saya bisa mendatangkan ribuan penonton. Tapi yang main Iwan Fals," kelakarnya menyindir sambil tertawa.
Sarannya, untuk menghidupkan gedung itu bisa dilakukan dengan tiga langkah. Pertama, mendatangkan bintang tamu yang bisa memancing pengunjung ke gedung pertunjukan tersebut.
Kedua, melibatkan komunitas-komunitas teater, wayang maupun kethoprak dengan agenda pementasan yang dikelola profesional. Lakukan pendataan komunitas teater di Semarang atau di Jateng. Ketiga, untuk menghidupkan iklim kesenian di Semarang tak ada salahnya jika bekerjasama dengan Dinas Pendidikan.
"Siswa sekolah diwajibkan menonton pementasan berbasis kebudayaan dalam waktu terjadwal. Saya yakin itu pasti bisa. Seperti dalam hadis Bukhori, jika suatu urusan dipegang oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya," cetus Eko Tunas.
Buktinya, pengelolaan hingga saat ini tidak ada upaya untuk itu. Parahnya, secara struktural pengurus DKJT merupakan kroni-kroni yang itu-itu saja. Tapi terus menerus dipertahankan. "Jika kesenian telah ditumpangi kepentingan politik, maka yang terjadi adalah manipulasi. Lihat saja, tak satupun seniman di Semarang yang dilibatkan dalam kepengurusan. Bahkan orang-orang yang berada di dalam ya itu-itu saja," tambahnya.
Sejak kepengurusan di bawah pimpinan Bambang Sadono mengalami kevakuman. Bahkan gedung pertunjukan PKJT setelah itu diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jateng di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sejak bulan Oktober 2010 silam.
Digelontor Rp 500-600 Juta per-Tahun
Informasi yang dihimpun, gedung pementasan PKJT tersebut setiap tahunnya digelontor anggaran senilai Rp 500 juta hingga Rp 600 juta per tahun. Anggaran tersebut diambil dari dana APBD Pemprov Jateng.
Tidak adanya kegiatan yang berarti, sehingga wajar jika bermunculan dugaan-dugaan miring. Mulai adanya dugaan kegiatan fiktif, penyelewengan anggaran serta penyaluran dana tidak tepat sasaran.
Sekretaris Komite Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng, Eko Haryanto mengatakan, anggaran senilai Rp 500 juta hingga Rp 600 juta per tahun tersebut tidak sepadan dengan kegiatan yang ada. Celakanya, pemerintah cuek dan didiamkan begitu saja.
"Seharusnya segera dilakukan audit dari BPK (Badan Pengawasa Keuangan). Apakah penggunaan anggaran itu tepat atau tidak. BPK nantinya bisa menentukan jika ditemukan adanya tindakan penyelewengan," terangnya.
Maka dari itu, KP2KKN mendesak Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo segera meminta audit investigasi kepada BPK. Baik melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau secara langsung di kepengurusan DKJT.
"Pak Ganjar harus segera meminta audit kepada BPK. Dana hibah ratusan juta yang telah digelontorkan itu bagaimana penggunaannya," tegas Eko.
Menurutnya, bisa juga ditangani terlebih dahulu oleh Aparat Penegak Hukum (APH), yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah maupun Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah. Hal itu bisa dilakukan sambil menunggu audit yang dilakukan oleh BPK.
"BPK bisa melapor ke APH. Bisa KPK, Kejati, atau Polda Jateng untuk melakukan penyelidikan dulu terhadap kasus tersebut. Misalnya pengumpulan barang bukti atau data lain. Sambil menunggu audit dari pihak BPK," jelasnya.
Sementara itu, Koordinator LSM Gabungan Elemen Mayarakat Pengawal Amanat Reformasi (Gempar) Jawa Tengah, Widjayanto mengatakan, mangkraknya gedung pementasan milik DKJT merupakan bukti bahwa pengelolaan fungsi gedung kesenian tersebut dilakukan oleh orang-orang yang tidak profesional. Bahkan tidak memiliki program yang jelas.
"Kalau gedung kesenian mangkrak, minim kegiatan, itu pihak pengelolanya, jelas perlu dipertanyakan," ujarnya.
Terlepas dari mangkraknya gedung kesenian tersebut, Widjayanto mengatakan, pihaknya menekankan kepada pencairan dana hibah APBD Jateng kepada lembaga publik tersebut.
"Pencairan dana hibah itu digunakan sebagaimana mestinya atau tidak. Selain itu, dana publik yang turun ke DKJT dengan jumlah tidak sedikit," jelasnya.
Melihat kondisi sekarang, lanjut Widjayanto, dari dana hibah senilai Rp 500 juta pada 2012 dan Rp 600 juta pada 2013 tidak ada kegiatan yang berarti. Tentu saja, hal ini rawan diselewengkan. "Tentunya, patut diduga adanya pekerjaan fiktif. Apalagi dana perbaikan Rp 700 juta pada 2013 lalu, hasilnya apa? Sebenarnya kan mudah, misal biaya cat berapa, luas gedung berapa, kunci serta pintu yang diganti berapa? Bisa kelihatan jika diaudit," ungkapnnya.
Sehingga jika diketahui tidak digunakan sebagaimana mestinya, para pihak yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan di mata hukum.
Mangkraknya gedung PKJT ini membuat banyak kalangan mempertanyakan. Gedung yang menghabiskan dana APBD Jateng dibangun bertahap 2003-2005 senilai Rp 7 miliar tersebut seolah percuma. Bahkan dana hibah senilai Rp 500 juta per tahun tidak jelas di mana rimbanya.
Budayawan Djawahir Muhammad saat dimintai komentar wartawan beberapa waktu lalu mengatakan, minimnya kegiatan seni budaya di gedung milik DKJT sangat disayangkan. "Terlalu banyak kepentingan yang akhirnya membuat gedung itu terabaikan," katanya.
Begitupun seniman, Agus Maladi. Ia juga sangat kecewa atas mangkraknya gedung pementasan yang melahap miliaran rupiah uang negara itu.
Saat ini, gedung tersebut dikelola Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemprov Jateng. Terakhir, dilakukan perbaikan pada 2013, dengan dana dari APBD senilai Rp 700 juta. (Abdul Mughis)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar