Inilah Peran Bupati Sragen dalam Pembobolan Kas Daerah Rp 11,2 Miliar


SEMARANG – Bupati Sragen Agus Fathur Rahman menyangkal telah menerima uang senilai Rp 366 juta dari uang hasil pembobolan kas daerah Kabupaten Sragen. Pihaknya juga tidak tahu menahu soal sumber uang  tersebut karena sewaktu menjadi Wakil Bupati Sragen (berpasangan dengan Untung Wiyono-terpidana) meminjam kasbon dari Koesharjono Sekretaris Daerah Sragen kala itu tanpa tahu sumber asalnya.

Sangkalan itu disampaikannya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Selasa (4/6).

Agus Fathur Rahman hadir memenuhi panggilan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sragen untuk menjadi saksi untuk terdakwa Adi Dwijantoro yang kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengeloaan Keuangan Daerah (BPKD) Sragen.

Adi menjadi terdakwa karena terlibat dalam kasus pembobolan APBD Sragen tahun 2005, karena sejak tahun 2003 terjadi penempatan kas daerah senilai Rp 29,4 miliar dalam deposito BPR Djoko Tingkir yang dijaminkan utang atas namanya.

"Saya tidak tahu kemana uang itu mengalir. Soal kasbon, saya tidak tahu sumber dananya dari mana, tapi saya pinjam dari Koesharjono," terang Agus.

Uang tersebut diakuinya dipinjam ketika membutuhkan. Namun, Agus tetap menampik bahwa uang itu ada kaitannya dengan uang hasil agunan kasda ke BPR Djoko Tingkir. Agus mengaku baru mengetahui sumber uang itu sejak sebelum pelantikan menjadi Bupati bulan Mei 2011, dan langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya.

"Saya pinjam secara bertahap hingga dihitung mencapai Rp 366 juta. Saya kemudian mengembalikan uang itu sendiri ke BPKD melalui pos penerimaan lain-lain," kelakarnya.

Rapat 1 Juni 2011

Tahu adanya masalah pelik peninggalan bupati sebelumnya yakni utang Rp 11,2 miliar, Agus selaku Bupati Sragen menggelar rapat dengan DPRD Sragen untuk mencari solusi masalahnya. Dalam rapat itu, ada dua pilihan, yakni menyelamatkan Djoko Tingkir atau membiarkannya terbengkelai. Namun pilihan kedua, tidak dipilih lantaran jika Djoko Tingkir dibekukan kasda akan merugi Rp 70 miliar karena harus membayar pesangon karyawan dan mengganti seluruh uang nasabah.

Pada rapat 1 Juni inilah, disepakati akan menyelamatkan Djoko Tingkir. Agus mengaku pada tanggal itu memerintahkan kepada Sri Wahyuni (bendahara Kasda) untuk mengisi surat pengesahan itu namun meminta pengosongan tanggal pada pencarian tersebut. Agus juga menyangkal jika dirinya menjanjikan jabatan bagi siapa yang bersedia membubuhkan tandatangan pencarian.

Akibat dari tandatangan itulah yakni jaminan uang berupa sertifikat  berupa deposito milik pemda bisa dicairkan. Padahal seharusnya deposito yang sudah jatuh tempo cair masuk ke kas derah. Uang pencairan ini justru masuk ke Djoko tingkir sehingga membuat Kas Daerah merugi Rp 11,2 miliar.

"Tidak pernah saya janjikan, siapa yang tanda tangan akan dinaikkan jadi pejabat eselon dua di Pemerintahan Sragen. Saya memastikan tanggal 1 Juni itu tidak ada pencarian dana, karena memerintahkan Yuni untung mengosongi tanda tangan pencairan, namun saya ndak tahu malah uang itu malah cair," tuturnya.

Namun, alasan itu dibantah oleh Wakil Bupati Sragen, Daryanto. Orang nomor dua di Sragen ini menyatakan jika pada tanggal 1 Juni, Sri Wahyuni dipaksa untuk menandatangani bilyet giro atas pencairan sertifikat deposito itu sehingga bisa dicairkan. "Pak Bupati bilang, cari siapa saja yang berani tanda tangan, kalau tidak ada yang berani tanda tangan, cari siapa saja yang berani," timpalnya.

Senada, mantan Kepala Bagian Hukum  Pemkab Cilacap Yuliantoro mengaku jika Agus Fathur Rahman menerima uang Rp 366.500.000. Ia tahu setelah melihat bukti bon-bon kwitansi dari Koesharjono. "Pada 16 Februari 2013, saya tahu bahwa ada bukti setoran Rp 366.500.000 kepada pak Bupati Agus, yakni pada tahun 2003,2003 dan 2006," timpalnya.

Seperti diketahui, dalam kasus ini berawal pada tahun 2003 saat terpidana Untung Wiyono selaku Bupati Sragen berkeinginan memperoleh dana pinjaman untuk dana di luar APBD. Diperolehlah cara meminjamkan uang Kasda ke BPR Djoko Tingkir.

Setelah untung melakukan konfirmasi dengan pihak BPR Djoko Tingkir, Widodo selaku direktur utama bisa memberikan pinjaman dengan syarat agunan. Kemudian secara berkala BPKD mencairkan uang untuk ditempatkan di rekening BPR Djoko Tingkir. Sebelumnya juga telah cair deposito yang ditempatkan seluruhnya senilai Rp 29,4 Miliar.

Penempatan dana deposito dilakukan oleh Srie wahyuni selaku pemegang kas daerah yang menempatkan dana kas dalam laporan kas daerah sebagai kas daerah. Penempatan uang kemudian mendapat surat berharga. Sertifikat inilah yang dijadikan agunan pinjaman.

Kasus ini juga terlebih dulu menyeret nama mantan Bupati Sragen Untung Wiyono, mantan Sekretaris Daerah Sragen Koeshardjono, dan mantan Kepala Dinas Pendatan Daerah Sragen, Srie Wahyuni. Terpidana Untung Wiyono dijatuhi pidana tujuh tahun penjara, Koeshadjono dihukum 4,5 tahun dan Srie Wahyuni dua tahun delapan bulan.

Kasus ini bermula dari penempatan uang kas daerah pada deposito di Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) Djoko Tingkir Sragen sebesar Rp 29,4 miliar. Sertifikat deposito kemudian diagunkan untuk pinjaman daerah Rp 36,3 miliar. Hal serupa terjadi di BPR Karangmalang Sragen.

Kas daerah didepositokan 8 miliar dan sertifikatnya diagunkan untuk kredit 6,1 miliar. Total pinjaman dengan jaminan deposito milik Pemkab Sragen adalah Rp 42,4 miliar. Dari total pinjaman tersebut, pinjaman di BPR Karangmalang telah dikembalikan seluruhnya. Sementara pinjaman di BPR Djoko Tingkir baru dikembalikan Rp 25,1 miliar. Sisanya Rp 11,2 miliar tak bisa dikembalikan. Jumlah itu kemudian dihitung sebagai kerugian negara. (zar/LSP)





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar