Ketika Wanita Hancurkan Negara

 Pentas "Kursi" Teater Gema IKIP PGRI

SEMARANG- Selama dua malam berturut-turut, Selasa-Rabu  (13-14/11/2012), perhelatan teater naskah "Kursi" karya Prie GS oleh Teater Gema mampu memukau ratusan penikmat teater di Auditorium Gedung Pusat lantai 7 IKIP PGRI Semarang, Jalan Lontar No 1 Sidodadi, Dr Cipto Semarang. 

Di bawah besutan tangan dingin sutradara Ibrahim Bra, lakon ini berusaha menguliti filosofi hidup “trio abadi”; harta, tahta dan wanita. Barangkali tiga hal tersebut merupakan persoalan klasik yang telah berlangsung entah sejak zaman apa. Akan tetapi mempunyai esensi yang tak lekang oleh waktu.

Selama kurang lebih dua setengah jam, ratusan penonton hikmat tak beranjak menyimak adegan demi adegan dalam pementasan surealis tersebut. Ini merupakan bukti bila pementasan tersebut bisa dibilang cukup berhasil.

Diakui atau tidak, penonton juga butuh pesan-pesan klasik seperti dalam naskah ini, setelah belakangan marak komunitas teater cenderung mengekplorasi pementasan banyolan, tapi terkesan dipaksakan.

Setidaknya, tiga “ta”; har(ta), tah(ta), dan wani(ta) dalam perhelatan teater tersebut menjadi sebuah intrik dalam ruang otak setiap manusia yang menarik dikaji. Sutradara Ibrahim Bra mengatakan, nilai-nilai yang tertuang dalam naskah ini perlu dimunculkan kembali. Tentunya disesuaikan kebutuhan, berkaitan dengan konsep kekinian.

Menurutnya, tiga “ta” tidak bisa dipisahkan, jika dipisah maka akan kehilangan arti. Sehingga tiga “ta” ini sungguh menjadi hal yang luar biasa dalam hidup manusia. Kendati demikian, keluarbiasaan itu hanya sebuah fatamorgana: kebahagiaan, kesuksesan, dan keberhasilan semata. “Sebaliknya, dalam kondisi tak terduga, ketiganya bisa berubah menjadi pisau yang siap merobek apa saja,” ungkapnya.

Salah seorang penikmat teater asal Wonosobo Aufa Mujtahid mengatakan pementasan teater tersebut tidak mengecewakan,  meski sebenarnya banyak ditemui kecelakaan keaktoran di atas panggung. “Ini pementasan yang saya butuhkan. Saya hadir sebagai penonton, bukan kritikus. Ada nilai penting yang hendak disampaikan naskah itu. Semakin mencari kesenangan melalui tiga unsur itu, semakin jauh pula dari diri kita,” ujarnya.

Penonton yang mengaku nge-fans dengan penampilan salah seorang pemeran pembantu Ade Purnamasari itu menambahkan, sebagai penonton ia tak mempersoalkan ketidaktepatan dramaturgi. “Saya cukup terhibur karena pementasannnya seolah menyindir saya. Punya uang, punya kekuasan tapi tidak punya wanita, ternyata itu sia-sia, haha,” celetuk Aufa sembari bercanda.

Dari ketiga “ta” itu, “wanita” menjadi titik muara yang jika salah “mengelola” bisa menjadi mulanya kehancuran negara.  Didukung awak Teater Gema Danang Septa Friawan: Jurang Grawah; Joko Pramono: Jurang Cupet; M. Rif’an: Menteri; Rizalul Fikri: Peramal; Saiful Amri: Menteri; Laili Lukna: Semang; Maria Ulfa: Sanggit; Ade Minten: Semang; Anindya Surya: Monalisa; Hardiana Kicuk Subrata: Wartawan; Prajurit: Katon Cahyo, Dika, Afrian, Jay Adnan, Impong, Lilik BP, pementasan ini cukup cantik. (Mughis/LSP)

2 komentar: