Blogger Widgets

Tidak Bikin Grup Band, Tapi Karawitan

Diposting Unknown jam 00.11
Tidak Bikin Grup Band, Tapi Karawitan

Zaman modern seperti sekarang ini sepertinya tidak banyak yang suka musik tradisional macam karawitan. Dipastikan, generasi muda lebih suka sama yang rock-rockan, underground, gotic, pokoknya apa saja yang penting metal-metalan dan produk dari barat kemudian disukai.

Tapi tidak untuk siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri Gisikdrono 03, Semarang Barat. Hal macam itu dihindari, para siswa di sana tidak dididik membentuk band, tapi karawitan. Aneh kan? Tentu saja ini hal yang menarik. Di bawah nama grup karawitan Tandjung Ririh, sejumlah siswa-siswi SDN Gisikdrono 03, Semarang Barat ini kemudian sengkuyung, gojeg sekaligus hikmat dalam memainkan tetabuhan gamelan.



Mereka diperkenalkan arti pentingnya mencintai kebudayaan sendiri, sejak dini. Di tengah modernisme, SD Negeri Gisikdrono 03 justru kaya Waranggana dan Wiraswara cilik. Belajar kesenian daerah bernama karawitan, tentu bukan perkara mudah. Namun bukan hal yang tidak mungkin, anak-anak kemudian lihai memainkan musik gamelan.

Tentu ini butuh kerja keras dalam melestarikan kebudayaan yang adiluhung itu. Di sebuah sanggar minimalis di sekolah setempat, terlihat puluhan siswa dari berbagai kelas. Mereka tampak sumringah berlatih kesenian karawitan tanpa lelah. “Kami berlatih seminggu dua kali, yakni Kamis dan Jum’at Sore,” ujar Kepala Sekolah SD Negeri Gisikdrono 03, Sutari selaku pembina karawitan Tandjung Ririh, didampingi sang pelatih, Mariyanto, kemarin.

LawangSewu Post sempat terpaku melihat anak-anak itu begitu lancar memainkan alat-alat tradisional. Mereka sangat antusias dan sangat menikmati permainan musik khas Jawa ini. “Kami berusaha mengenalkan dari awal, dan benar-benar dari nol. Mulai mengenalkan not angka dan cara membacanya,” terang pelatih Mariyanto.

Lebih lanjut dijelaskan Maryanto, setelah mengenal not angka, kemudian mereka berlatih membacanya. “Tentu, sebelumnya kami mengenalkan nama masing-masing alat dan bagaimana cara membunyikannya. Meski kadang merasa kesulitan membaca not, karena tingkat kesulitannya setiap hari bertambah secara bertahap,” tambahnya.

Pihak sekolah sengaja mengenalkan seni karawitan ini dari awal. Hal ini sebagai upaya untuk melestarikan budaya bangsa yang mulai luntur peminatnya terlebih di kalangan anak muda. Dikatakan Mariyanto, sejak dari awal berdirinya group karawitan Tandjung Ririh pada tahun 2000, ia baru mempunyai alat gamelan lengkap sejak tahun 2008.

“Seni karawitan memang diperlukan alat musik yang cukup banyak. Di antaranya bonang barung, bonang panerus, kenong, kempul, kethuk, saron, gambang, gender, gong, rebab, gender, siter, demung, peking, kendang dan suling,” katanya.

Semua alat tersebut harus dimainkan secara harmonis, indah dan rancak. Kata Mariyanto, para penabuh gamelan dalam seni karawitan biasa disebut Pengrawit, sedangkan penyanyi perempuan disebut Waranggana dan yang laki-laki disebut Wiraswara. Karena pesertanya masih anak-anak, maka dapat disebut, Pengrawit Cilik dan Waranggana Cilik.

Selama proses penggarapan, Mariyanto mengaku, dalam komposisi group yang terdiri dari 21 personil itu paling sulit adalah menata vokal. Cengkok lagu Jawa mempunyi tingkat kesulitan yang tinggi daripada lagu-lagu pop sekarang. Tekhnik vokal dari cengkok lagu Jawa butuh proses panjang mengolahnya. “Apalagi di sekolah ini masa aktif siswa hanya 3 tahun, yakni sejak kelas 3 hingga kelas 5 saja. Kelas 6 sudah inten jelang ujian. Begitu personil keluar, kita mencari bibit lagi,” katanya.

Namun yang lebih cepat, kata dia, adalah pengenalan alat terlebih dahulu. Siswa dikenalkan masing-masing alat berikut cara memukulnya. Kemudian mengenalkan nada Slendro maupun Pelog. Jika Slendro tidak ada angka 7 dan 4. Namun jika Pelog sebaliknya ada angka 7 dan angka 4,” jelas guru alumni IKIP PGRI ini.

Kepala Sekolah Kepala Sekolah SD Negeri Gisikdrono 03, Sutari mengatakan lahirnya group karawitan Tandjung Ririh ini merupakan angin segar untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Jawa. “Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk membentuk karakter bangsa untuk mengimbangi dampak teknologi,” kata Sutari. (abm)
 

Korupsi


Siapa lagi? »

Peristiwa


Arsip Peristiwa »

Berita


Arsip Berita »

Modus


Arsip Modus »

Jeng-jeng


Arsip Jeng-jeng »

Kasus


Arsip Kasus »

Horor Kota


Arsip Horor Kota »

Kriminal


Arsip Kriminal »

Tradisi Budaya


Selanjutnya »

Politik Itu Kejam


Simak Selanjutnya? »

Komunitas Pembaca


*) Tulis peristiwa di sekitar Anda, kirimkan ke email redaksi kami: singautara79@gmail.com

Citizen Journalism


Siapa lagi yang nulis? »

Wong Kene


Arsip Wong Kene »