Pak Min, Hidup–Mati di Ngesti Pandowo

Pak Min, Hidup–Mati di Ngesti Pandowo

TIDAK banyak yang mengenal Suratmin. Pria tua yang sehari-hari hidup di emperan gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang. Meskipun setia menjadi punggawa Wayang Orang (WO) Ngesti Pandawa sejak lama, namun namanya tak setenar Soeratno atau Talok, apalagi dengan dedengkot semacam Kusni, Sastrosoedirdjo atau Ki Narto Sabdho.

Maklum, pria yang akrab dipanggil Pak Min tersebut hanyalah seorang pengrawit (penabuh gamelan). Posisi yang jelas banyak luput dari perhatikan penonton, karena setiap kali pentas digelar, Ia hanya akan duduk dibawah panggung, membelakangi penonton sambil menabuh gender.



Namun begitu, dikalangan seniman dan orang-orang di TBRS, namanya cukup familiar. Terlebih sehari-hari pak Min hampir tidak pernah menginjakkan kakinya keluar komplek TBRS. Makan, tidur, dan hal-hal lian semuanya di lakukan diemperan gedung Ki Narto Sabdo.

Pria asal Timuran, Surakarta ini mengaku hijrah ke Semarang dan bergabung dengan WO Ngesti Pandawa adalah akibat perkenalannya dengan seorang dalang bernama Marsi. Oleh Marsi ia diajak ke Semarang dan dibujuk ikut menjadi salah satu pengrawit. “Waktu itu Ngesti Pandawa masih bertempat di gedung GRIS,” terangnya.

Mengenang masa jaya kelompoknya, Pak Min tampak berkaca-kaca. Sambil menerawang ia bercerita betapa Ngesti Pandawa dahulu telah menjadi salah satu trade mark kota
Semarang. “Di Gris, Ngesti Pandowo jaya. Mengunjungi Semarang tanpa menonton
Ngesti Pandowo sungguh suatu kerugian, begitu kata orang Semarang tempo dulu.
Bahkan Pak Karno (Presiden Soekarno) beberapa kali nanggap Ngesti di istana,”
kenangnya.

Zaman berubah, perlahan kejayaan itu meredup. Dengan mata yang juga meredup, Suratmin mengenang masa-masa transisi Ngesti dari kejayaan menuju keredupan. Sesudah Kusni meninggal pada 1980, kemudian diikuti Sastrosoedirdjo pada 1984, dan Ki Narto Sabdho setahun kemudian, Ngesti Pandowo kehilangan tokoh-tokoh panutan.

Pada Nopember 1996, Ngesti Pandowo digusur dari GRIS yang diambil-alih
oleh pihak ketiga, Bank Pembangunan Daerah Jateng. Penggusuran ini mengejutkan
masyarakat. Radio BBC menyiarkan sekaligus menyesalkannya. Anak-anak wayang
kecewa, sedih, tak bisa membayangkan apakah masih bisa pentas dan mendapatkan
uang.

Beruntung kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Pemerintah mengeluarkan izin untuk penggunaan gedung TBRS bagi Ngesti Pandowo. Tetapi dalam keadaan yang sangat tidak representative karena awalnya mereka main tanpa dengan jadwal yang jelas dan tanpa setting background.

“Keadaan itupun cuma berlangung sebentar, karena penonton sepi, pentas dihentikan lagi. Enam bulan berhenti pentas, Ngesti Pandowo menyewa gedung di Istana Majapahit dan bisa menggelar pentas secara penuh. Namun pengunjung telah berkurang drastis, hingga biaya sewa tak terbayar. Bantuan pemerintah daerah pun hanya bertahan 4 bulan. Terakhir, Gedung Ki Narto Sabdo di TBRS menjadi tempat pementasan, hingga kini,” jelasnya.

Sekarang jadwal pasti pentas Ngesti pandawa hanya Sabtu malam Minggu. Namun ini pun tak mampu menaikkan kembali pamor Ngesti Pandowo seperti sediakala. Setiap kali pementasan hanya ditonton sedikit orang, sangat kontras dengan kondisi kejayaannya dulu. “Tapi untuk tahun-tahun ini, lumayan ada sedikit kemajuan. Paling tidak sudah mulai banyak yang peduli dengan menanggap Ngesti, meski tetap kalah jaya dibandingkan jaman-jaman dulu,” ucap pria yang tidak mengingat umurnya itu.

Untuk setiap kali pentas, dari pukul 20.00 hingga 24.00, Pak Min mengaki menerima pengganti uang lelah sekitar Rp. 50 ribu. Dan untuk dia, itu adalah biaya hidupnya satu minggu, karena praktis tidak ada penghasilan lain.

Kenapa tidak mencari pekerjaan lain? Ia menjawab, karena terlanjur jatuh cinta dan ingin mengabdikan hidupnya pada kesenian. Ia takut kalau bekerja dan punya banyak uang lalu lupa pada kesenian Jawa yang begitu agung. Baginya kesenian Jawa, khususnya wayang orang sudah menyatu dalam nadinya. Menjadi laku hidup, menjadi muara bagi batinnya seperti halnya gedung Ki Narto Sabdo tempat Ngesti Pandawa pentas adalah rumahnya yang sesungguhnya. (Niam)