Basahan, Kampung Terkecil di Semarang

Basahan, Kampung Terkecil di Semarang

Akibat tergerus kapitalisme, Kampung Basahan yang terletak di Kelurahan Sekayu Semarang Tengah atau Jalan Bojong (Sekarang Jalan Pemuda), nyaris punah. Bagaimana tidak, posisinya sekarang diapit antara Hotel Novotel dengan Semarang Theater.



Sangat ironis, tercatat sejak tahun 2005 silam, Kampung Basahan tinggal tersisa 2 Kepala Keluarga (KK) dan seorang pemulung bernama Sugiarto alias Mbah Baito (64). Pantas saja jika Kampung Basahan merupakan kampung terkecil di Kota Semarang.

Mbah Baito sendiri saat ini tidak mempunyai KK atau tempat tinggal. Sehari-hari ia hanya tinggal sebatang kara sebagai penduduk Perko (emper toko), berpenghasilan dari hasil memunguti sampah. Padahal dia merupakan penduduk asli di kampung tersebut.

Dua warga yang masih memunyai KK masing-masing Pujiati (71), Ngasimah (55). Rumahnya beralamat di Kampung Basahan RT 05/RW 03 Kelurahan Sekayu, Semarang Tengah. Saat ini, kampung ini berbentuk lorong sepanjang 70-an meter sebagai jalan pintas antara Jalan Pemuda ke Jalan Piere Tendean. Bisa dikatakan, di jalan yang mempunyai lebar sekira 1,5 meter itulah sebenarnya menjadi tetenger Kota Semarang memulai sejarah.

Demikian tragis, sedikit demi sedikit penduduk pribumi asal Kampung Basahan terusir secara permanen. Anehnya, dari ketiga penduduk yang tersisa, hanya Mbah Baito lah yang masih tinggal di Kampung Basahan tersebut. Dua di antaranya telah pindah di daerah Ngaliyan. Belum diketahui kenapa ia memilih mengontrakkan rumah yang berada di samping Novotel itu kepada pendatang.

Kendati tanah dan rumah Baito telah dibeli oleh investor, Mbah Baito tetap bertahan tinggal di Basahan. Dia megaku tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya itu. Meski sebenarnya, ia telah diajak pindah ke daerah Mangkang oleh anaknya.

Namun demikian, ia tetap ngotot tinggal di tempat itu. Kakek sebatangkara ini menjadi generasi terakhir di Kampung Basahan. “Sampai mati saya tetap tinggal di sini (Basahan-red). Saya sudah cukup senang hidup di Perko (emperan toko),” tutur kakek yang berprofesi sebagai pemulung saat ditemui LawangSewu Post di Basahan, belum lama ini.

Sempat menitikkan air mata, saat Mbah Baito mengingat masa Kampung Basahan masih menjadi kampung normal. “Dulu, di tempat ini banyak anak-anak bermain gobak sodor, gundu dan kalau malam ada warga yang jaga di pos kamling,” kenangnya.

Namun sekarang pemandangan itu sudah menjadi tontonan yang benar-benar mahal. Bahkan dipastikan tidak mungkin bakal terjadi kembali. Ia hanya bisa melihat gedung-gedung bertingkat, orang-orang berdasi, lalu lalang mobil mewah, dengan tatapan kosong.

Mengingat masa indah itu, terlihat jelas wajah Mbah Baito perih. Cerita masa kecil itu telah terbungkus rapi di hati menjadi kenangan. “Entahlah, dulu saat tanah saya akan dibeli oleh cukong, tiba-tiba saya ya mau saja. Mungkin karena butuh uang dan membelikan tanah untuk anak-anak sehingga akhirnya melepaskannya,” ujar Mbah Baito sembari main catur bersama LawangSewu Post.

Sejarah Singkat

Mengenai sejarah singkatnya, Mbah Baito menjelaskan dengan bahasa ringan. Dikatakannya, Kampung Basahan bukan basah (karena air) atau sering terjadi rob dan banjir. Namun pada mulanya ada seorang tokoh besar atau ulama penyebar agama Islam bernama Kiai Basah Sentot. Dia adalah murid Kanjeng Sunan Kalijaga. “Beliau yang “Babat Alas” kampung ini bersama sejumlah muridnya,” katanya sembari menyulut rokok Djarum 76.

Mbah Baito memperkirakan, kejadian itu terjadi sezaman dengan perang Diponegoro. Kiai Basahan kemudian mendirikan gubug-gubug yang kemudian menjadi rumah-rumah hingga menjadi perkampungan. “Sebutan Kampung Basahan sendiri yang memberi adalah para santri pengikut Kiai Basahan,” beber kakek pemungut sampah yang digaji Rp 70 ribu per-bulan oleh RW setempat.

Sementara itu, saksi sejarah yang lain Mbah Saman (74) mengatakan, dalam perkembangannya, jalan utama yang terletak di Selatan atau tembusan gang kampung itu dulu bernama Jalan Bojong sekarang Jalan Pemuda. Sepanjang Jalan Bojong dulu terdapat pusat kesenian bernama Kamarhola yang kemudian berganti Greece,” kata kakek yang tinggal di Sekayu RT 01/RW 01 Semarang Tengah itu.

Di tempat itulah, aktivitas kesenian di Kota Semarang berpusat. Diperkirakan, masa aktif sejak sebelum Indonesia merdeka hingga tahun 1960-an. Kesenian yang sering mengisi di antaranya adalah wayang wong Ngesti Pandowo. Di Jalan itu, dulu juga ada gedung pertujukan bioskop Mitropool, perpustakaan, dan balai wartawan. “Posisinya sekarang yang ditempati Mal Paragon itu lho,” ujar Saman menegaskan.

Nama-nama tempat di Kota Semarang sudah banyak yang berubah. Mbah Saman juga sempat bercerita waktu mudanya sering nongkrong di Prapatan Stenteling. Tentu saja LawangSewu Post hanya bisa melongo, tak paham apa itu Prapatan Stenteling? “Oiya, Prapatan Stenteling itu sekarang Simpanglima. Pinggir jalan itu, dulu masih berbentuk sawah,” katanya.

Terpisah, Lurah Sekayu Agus Prihartono mengakui belum sepenuhnya mendalami seluk beluk Kampung Basahan. Dia mengaku pendatang dan baru menjabat sebagai lurah belum lama. “Namun dari keterangan beberapa perangkat kelurahan, peristiwa jual beli tanah di Kampung Basahan terjadi pada tahun 2005 silam. Transaksi jual beli tanah itu tidak melibatkan pihak kelurahan. Investor melakukan negosiasi melalui notaris,” terang Agus. (Abdul Mughis)