Janda Ini Jadi Korban Kriminalisasi, Rumah Direbut Teman Suami
UNGARAN-
Seorang janda beranak dua, Wijiningsih (36), warga Tegal Sari Lor RT 07 Kecamatan
Pringapus, Kabupaten Semarang, diduga menjadi korban ketidakadilan hukum.
Setelah suaminya meninggal, tampaknya rumah yang saat ini menjadi sengketa. Rumah
tersebut direbut oleh Muharom, teman almarhum suami korban.
Kasus
tersebut sampai di Pengadilan Negeri Ungaran, diduga ada rekayasa hukum, Wijiningsih
kalah di persidangan. Atas hal itu, korban mengajukan banding di pengadilan
tinggi dan hingga saat ini masih berlangsung proses banding. Namun Pengadilan
Negeri Ungaran tiba-tiba mengeluarkan surat
eksekusi. PN Ungaran menyatakan akan melakukan eksekusi dalam waktu dekat.
“Saya
meminta keadilan. Muharom ingin menguasai rumah saya,” kata Wijiningsih kepada
wartawan di Semarang ,
Selasa (2/4).
Wijiningsih
menceritakan, kasus sengketa tersebut bermula tahun 2008. Saat itu, suaminya Joko
Isbandono bersama korban terlibat hutang piutang, namun kemudian dijadikan jual
beli. Joko Isbandono meminjam uang di BPR Bojo. “Pada akhir Juni 2010, kami tidak
dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Kemudian ada teman suami bernama Muharom,
warga Demak. Dia sepakat meminjami Rp 525 juta untuk menebus sertifikat rumah
dan tanah milik saya,” ungkapnya.
Perjanjian
pinjaman itu akan dikembalikan selama 6 bulan menjadi senilai Rp 600 juta.
Dalam perjanjian itu, Joko dan Wijiningsih akan membayar hingga bulan September
2010. “Ternyata pada bulan Agustus 2010, pihak Muharom telah mengisi AJB Kosong
melalui Notaris Mediana Ungaran dan Jual beli dilaksanakan sebesar Rp 35 juta,”
ungkap Wijiningsih.
Wijiningsih
tercengang mendapati rumah berlantai 2, terdiri 16 kamar, 3 toko dan tanah seluas
436 M diberi nilai Rp 35 juta. “Ini sangat jauh dari kewajaran. Ternyata pada
tanggal 20 Agustus 2010, sertifikat telah beralih nama dengan Muharom. Ini
sangat aneh dan dia memanipulasi. Jelas, hal ini tidak patut terjadi, dia telah
ingkar janji,” katanya.
Atas
kejadian tersebut, Joko menggugat Muharom dengan penipuan dan pada notaris,
terhadap penyalahgunaan wewenang dengan No 23 Pdt G/2011/PN Ungaran.
Perjalanan
sidang, pihak Notaris menyatakan bahwa belum pernah ketemu Joko dan Wijiningsih
karena hanya titipan dari Notaris Mranggen Demak. “Kami juga belum pernah berhadapan
ataupun datang ke tempat Notaris Mediana tersebut,” kata Wijiningsih.
Dijelaskan
saksi Lingga Yudi menyatakan bahwa tidak pernah ada jual beli. Adanya hanya pinjam
meminjam uang dengan jaminan sertifikat tanah, karena Joko dan Wijiningsih tidak
memiliki uang untuk mengurus semuanya. “Keputusan hakim tidak mempertimbangkan kenyataan
dan saksi saksi yang ada,” ungkap Wijiningsih.
Joko akhirnya
melakukan banding dengan No Perkara 39 Pdt 2012/PT Semarang yo 23 Pdt G/2011/PN
Ungaran. Namun sebelum putusan banding turun, pada tanggal 8 Maret 2012, Joko Isbandoko
meninggal dunia karena Kecelakaan.
“Saya
sangat kaget, pihak Pengadilan Negeri Ungaran telah mengeluarkan surat eksekusi pada tanggal
4 April 2013 dan akan mengerahkan pihak berwajib dengan kekuatan penuh,” terang
Wijiningsih didampingi kuasa hukumnya Eko Putro Hesnanto.
Bahkan
saat korban mendatangi rumah Muharom di Demak untuk mencari penyelasaian
melalui jalur kekeluargaan, justru ditolak mentah-mentah. Muharom marah-marah
dan menyatakan bahwa dia telah “membeli” pengadilan dan kepolisian. “Siapa yang
menghalangi, saya punya uang. ‘Kowe minggatto
ae tak sangoni 20 Juta kanggo yatimmu! Aku wis entek akeh kanggo pengadilan karo
polisi,” ujar Wijiningsih menirukan ucapan Muharom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar