Pasalnya, praktik operasi rutin tersebut cenderung disalahgunakan menjadi praktik pungli (pungutan liar) oleh oknum petugas atau tim satuan lalu lintas tertentu di tingkat Polsek. Sehingga sosok polisi di jalanan seperti "hantu" yang membikin pengendara deg-degan. Sebab, terperangkap operasi Satlantas sama artinya sadar bahwa dompet akan kebobolan.
Padahal tujuan awalnya sebetulnya baik, di antaranya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), sasarannya termasuk menjaring pelaku kejahatan, razia senjata tajam, narkoba, kejahatan pencurian kendaraan bermotor, hingga antisipasi terorisme.
Sayangnya masyarakat biasa pun tak luput dari razia petugas. Razia cenderung meresahkan masyarakat manakala diketahui "UUD" (Ujung-Ujungnya Duit). Kenyamanan publik beraktivitas menuju ke tempat kerja pun terganggu. Diakui atau tidak, pungli merupakan "penyakit" lama yang terus menggurita di jajaran kepolisian, hingga saat ini masih saja marak terjadi.
Berdasarkan pantauan yang dihimpun, modus oknum polisi pungli saat razia dilakukan dengan cara mengancam akan menahan sepeda motor dengan alasan tertentu. Biasanya, pengendara di hadapan polisi seperti telah dibuat "mati kutu", pokoknya dibuat selalu ada saja yang salah.
Kemudian ditawarkan bebarapa opsi untuk dipilih, yakni memilih sidang atau diselesaikan melalui jalur kekeluargaan? Jika memilih jalur kekeluargaan, maka harus bayar sejumlah uang. Rata-rata nilainya berkisar antara Rp 40 ribu hingga Rp 100 ribu. Jika memilih sidang, maka sepeda motor diancam akan ditahan. Tidak jarang, pengendara diancam menggunakan pasal-pasal. Atas hal itu, rata-rata pengendara cenderung memilih membayar, karena tak ingin debat kusir, apalagi dibumbui dengan gaya bahasa bernada keras atau membentak oleh petugas.
Demikian gertakan tersebut dilakukan agar calon pengendara korban bisa "berdamai" di lokasi kejadian. Artinya, operasi polisi yang sebelumnya bertujuan baik, kemudian diselewengkan oleh oknum tertentu menjadi ajang praktik pungli dalam balutan razia.
Seperti yang menimpa Putranti Dewi (27), warga Banyumanik ini. Dia menceritakan keluh kesahnya. Dia mengaku jengkel karena menjadi korban pungli oleh sekelompok tim Satlantas di daerah Brumbungan, tak jauh dari Polsek Semarang Tengah, Jum'at (20/9), sekitar pukul 09.00.
"Saya mau berangkat kerja. Melaju dari arah Jalan Gajahmada ke arah Jalan Mataram, malah terjebak razia polisi," kata Dewi, kemarin.
Dewi mengakui jika pajak motor miliknya mengalami keterlambatan. Maka ia tak berkutik saat dituding pajak motornya terlambat membayar. Lalu ia ditanya pilih sidang atau diselesaikan melalui jalur kekeluargaan. Dewi kemudian memilih sidang. "Tapi saya enggak habis pikir, setelah memilih sidang, kenapa motor saya malah ditahan?" ujarnya mempertanyakan.
Dwi yang buru-buru hendak bekerja itupun kebingungan, akhirnya ia diminta menuju ke sebuah mobil Satlantas yang terparkir di tepi jalan, tak jauh dari sekelompok tim Satlantas tersebut melakukan razia.
"Di dalam mobil itu, saya diminta menemui pimpinan tim dan kemudian terjadi tawar menawar. Akhirnya saya diminta bayar Rp 60 ribu. Daripada ribut-ribut, ya akhirnya terpaksa saya bayar. Saya paling males debat sama polisi, soalnya pasti disalahin sih," ujarnya jengkel.
Menurut Dwi ada puluhan pengendara lain yang mengalami nasib sama. Ada yang membayar Rp 40 ribu, Rp 50 Ribu dan Rp 60 ribu. "Pengendara lain ada yang surat-suratnya lengkap, pajak mati, diminta bayar Rp 50 ribu. Saya jadi bengong, terus uang itu larinya kemana?" ujarnya.
Dwi mempertanyakan apakah razia tersebut sesuai prosedur? Atau jangan-jangan ilegal? Pasalnya, lanjut Dwi, tim tersebut bukan gabungan. "Operasi seharusnya gabungan dengan Dishub, Kodim atau pihak-pihak yang diperlukan. Hal itu diperlukan agar tidak disalahgunakan menjadi ajang pungli," katanya.
Terpisah, Wiwin (34), warga Ngaliyan juga mengalami nasib serupa. Dia mengaku salah jalur di daerah Kedungmundu. Setelah kena semprit dan dikejar polisi. Motornya kemudian ditilang. "Saya punya surat komplit, tapi motor saya tetap ditahan dan baru dilepaskan setelah bayar," katanya.
Maraknya praktik pungli berkedok razia kali ini terjadi saat jabatan Kasatlantas Polrestabes Semarang "kosong". Sebab Kasatlantas Polrestabes Semarang AKBP Faizal diangkat menjadi Kapolres Kebumen, digantikan oleh AKBP Windro.
Kasatlantas Polrestabes Semarang AKBP Windro saat berasaha dikonfirmasi melalui telepon belum berkenan memberi komentar banyak. "Nanti telepon lagi ya mas, saya masih ada acara," ujarnya sembari buru-buru menutup telepon.
Ia hanya berjanji kepada wartawan untuk menelepon kembali, namun berkali-kali ditelepon hanya terdengar nada sambung dan tidak diangkat.
Hingga saat ini TR pergantian jabatan tersebut telah turun, akan tetapi Windro belum mulai bertugas. Windro mulai aktif dan resmi menjabat mulai Senin (23/9) mendatang, sekaligus serah terima jabatan. (lsp/G-15)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar