Membedah Antologi Puisi “Pulang Melawan Lupa”

Malikhah San

Kisah perjalanan panjang seorang Zubaidah Djohar, seorang peneliti, sastrawan, dan juga penggiat kemanusiaan tertuang dalam antologi puisinya "Pulang Melawan Lupa". Melalui diskusi dan pengajian sastra yang diadakan oleh Beranda Sastra Edukasi, UKMI Anniswa, dan Lembaga Pengembangan Studi Advokasi Perempuan mencoba membedah antologi puisi Zubaidah Djohar.

Sengaja didatangkan langsung penulis antologi puisi "Pulang Melawan Lupa" di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 21/12/2012 lalu. Antologi ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh Zub, sapaan akrab Zubaidah selaku penulis. Dalam diskusi tersebut, Zub mencoba menggambarkan tentang salah satu perjuangan seorang perempuan buta yang harus melawan kejamnya tentara militer pada saat terjadi konflik di Aceh.

Dia menggambarkan lewat beberapa puisi karangannya. "Dosa atau Tembak!", sebuah kalimat yang terlontar dari bala tentara yang pada saat itu mengancam seorang wanita buta. Puisi ini melukiskan betapa perempuan tersebut berada dalam dua pilihan yang cukup mengancam jiwa raganya.

"Ketika dia memilih untuk memilih dosa, dia pun harus rela untuk diperkosa oleh para lelaki biadap. Sedang jika perempuan itu memilih tembak, kematianlah yang langsung akan menghampiri", kata Zub seraya mengenang pertemuannya dengan perempuan buta itu.

Dalam antologi puisinya tersebut, Zub menekankan bahwa kita tidak boleh lupa terhadap perjuangan yang telah dilakukan. Dalam bukunya, Zub mengatakan bahwa mengingat merupakan jalan menuju kesadaran akan hutang sejarah yang belum ditunaikan kepada korban perang.

Menurutnya, sebuah karya penting untuk didokumentasikan agar mampu menjadi bukti sejarah. Karya pulang melawan Lupa ini mampu menjadi dokumen peristiwa Aceh yang dipandang dari kacamata perempuan. Bagi Zub, mengungkap masa lalu bukan berarti karena dendam, buka pula ingin remuk berketerusan. Karena ini masalah kebenaran yang harus ditegakkan untuk mengembalikan martabat yang pernah tercerabut hancur karena perang.

Salah satu peserta diskusi, Umi Hanik melontarkan beberapa pertanyaan untuk Zubaidah. Salah satunya tentang gerakan perempuan yang ada di Aceh. Menurut Zub, gerakan perempuan di Aceh semakin dinamis. Sistem perpolitikan yang jauh dari kata keadilan semakin lantang disuarakan. Dan laki-lakipun mulai terlibat dalam gerakan yang dibangun oleh perempuan. Baginya, perempuan memiliki potensi yang sangat luar biasa. "Dalam diamya seorang perempuan, terdapat gejolak luar biasa akan pemikirian seorang perempuan", ujar Zubaidah.

Ia menambahkan, dalam salah satu kutipan puisinya ketika seorang perempuan diharuskan pulang ke rumah, mereka langsung patuh. Namun, dalam kepatuhannya itu bukan berarti "manut ataupun tunduk" begitu saja, namun dia memiliki strategi lain dibalik kepulangannya untuk memikirkan produktifitas dirinya meski dibatasi geraknya.

Sekali lagi Zub menegaskan, bahwa dalam kumpulan antologi puisinya itu bukan semata-mata bercerita tentang tangisan seorang perempuan. Puisi-puisi tersebut lebih mencerminkan sikap perempuan untuk menatapi masa depan tanpa melupakan sejarah perjuangannya. "yang disuarakan bukan penderitaan perempuan, akan tetapi sikap tegas seorang perempuan untuk melawan kesewenang-wenangan yang terjadi", imbuhnya. (*LSP)

Oleh: Malikhah San