Sastrawan Muda Sering Terjebak Diksi Rumit
PERKEMBANGAN sastra saat ini melaju pesat. Terlebih didukung dengan adanya pemanfaatan media internet, khususnya Facebook. Setiap orang seolah-olah bisa menjadi “sastrawan” dengan gampangnya. Namun intensitas menulis beberapa aktivis Facebook patut mendapat apresiasi.
Agustina Novitasari Ketua Komunitas Sastra Teater Beta Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang mengatakan, secara mandiri komunitas yang digawanginya mampu menerbitkan sebuah buku dalam label antologi puisi. Buku terakhir berjudul “Fragmen Rindu” yang di dalamnya menampilkan lima sastrawan muda, Misbakhul Munir, Dwi Royanto, Abdul Wahib, Devi Masfiyatussa'adah (Bunga Liar) dan Istirokhah Roro, berawal dari Facebook.
Penyair senior Sosiawan Leak mengatakan, diakui atau tidak, sejak mencuatnya Facebook, lahir pula generasi-generasi baru yang potensinya patut dipertimbangkan. “Namun sastrawan muda itu terkesan ingin wah, sehingga baru suka-sukanya memilih diksi yang rumit. Barangkali takaran dia, itulah yang dimaksud puitis. Padahal oleh itu pula ia terjebak,” ujarnya kepada LawangSewu Post di IAIN Walisongo, belum lama ini.
Meski demikian, ada beberapa kelebihan yang ditonjolkan masing-masing dari empat sastrawan tersebut. Leak menyorot puisi Istirohah Roro, dikatakannya, Roro cukup berhasil memotret hal yang sangat sederhana. Ide kreatif ditunjukkan berasal dari lingkungan terdekat atau pun aktifitas penulis itu berada. “Roro adalah seorang ibu rumah tangga. Jadi, apa yang dipotret adalah hal yang sangat sangat realistis. Roro berhasil menyampaikan kondisi “rindu”-nya dengan sempurna,” kata sastrawan yang pernah tour keliling di Belanda ini.
Sastra telah mengalami pergeseran penggunaan media, dari cetak ke online. Saat ini, setiap orang pun dengan mudahnya mempublikasikan diri sebagai sastrawan, hanya dengan segelintir hasil karyanya. Terutama penulis karya sastra puisi. Tak dipungkiri, kondisi sastra di Facebook masih miskin kritikus sastra. Sehingga hasil karya sastra tersebut terpublikasikan tanpa melalui uji analisis kesusastraan. Maka yang terjadi, pembelajaran sastra pun berjalan apa adanya. “Tidak salah pula bila kualitas sastra Facebook itu perlu diuji. Di antaranya bisa melalui diskusi. Tak semua, sastrawan Facebook itu tidak berkualitas,”tambahnya.
Namun di sisi lain, dari Facebook pulalah yang kemudian para penulis bertemu dan menghasilkan sebuah karya sastra hingga menjadi buku Antologi. Diterbitkannya Antologi “Fragmen Rindu” Teater Beta Semarang. “Ini merupakan sebuah bukti bahwa generasi kepenulisan sastrawan muda perlu mendapat apresiasi. Saya tidak berbicara baik dan buruk, ataupun berkualitas atau tidaknya hasil karya puisi dalam Antologi ini lho,” kata Sosiawan Leak.
Disarankan Leak, penting kiranya bagi penulis muda membaca dan mempelajari teori sastra, hasil karya sastra dari generasi ke generasi. Sehingga hasil karya sastra yang diciptakan berbeda dengan karya sastra yang sudah ada. “Saya melihat, di Antologi ini belum ada yang baru. Rata-rata teknik yang digunakan masih sama dengan penulis sastra pendahulunya,” tambah Leak.
Terpisah, pengamat sastra, Day Milovich mengatakan, penulis sastra banyak yang terjebak dengan penggunaan diksi. Kata-kerja pikiran (thought verb) sering memasuki puisi, seperti: marah, membenci, rindu, dan mencintai. Kata-kata itu abstrak, berasal dari pikiran, membutuhkan deskripsi. Mengatakan "aku merindukanmu malam ini" (hanya menggunakan kata-kerja pikiran "rindu") tentu berbeda kesannya dengan mengatakan "lantas angin membisikkan namamu dalam pesan-pesanmu kepadaku, dan semua orang menyebutmu melalui mulutku".
Dikatakan Day, keduanya sama-sama ungkapan rindu, tetapi cara mengungkapkannya berbeda. Yang pertama mengatakan "rindu" tanpa penjelasan (inilah contoh kata-kerja pikiran yang abstrak itu), sedangkan yang kedua mengungkapkan "situasi rindu". “Satunya abstrak, satunya jelas. Satunya membuat kalimat karena "ekspresi", sedangkan yang terakhir berusaha membuat "kesan" (impression) dengan kalimat penjelas,” papar penyair yang juga web master itu. (Abdul Mughis)