“Ndoro Luwak” Teater Beta; Komedi Tragedi Lalu, Kini dan Esok

“Ndoro Luwak” Teater Beta; Komedi Tragedi Lalu, Kini dan Esok

SEMARANG- Pementasan Teater Beta berjudul "Ndoro Luwak" berlangsung meriah dan menggelitik. Pasalnya, naskah besutan sutradara Sugiarto ini mampu menghibur ratusan penonton di auditorium 1 IAIN Walisongo Semarang, Kamis (14/6) malam.

Meski masih bisa dikatakan jauh dari sempurna, tapi pementasan yang mengangkat [tema klasik] kritik sosial, kerakusan kekuasaan ini ternyata mampu memukau penonton secara keseluruhan. Tak ayal mamantik apresiasi, pujian hingga kritik pedas.


Sutradara Sugiarto mengatakan, naskah karya seniman senior asal Tegal Nur Hidayat Poso pada tahun 1985 tersebut memang mengangkat isu lama tentang kritik sosial.
Menurutnya, meski isu lama, pementasan tersebut patut diangkat. Adegan-adegan dalam "Ndoro Luwak" sebenarnya potret realitas yang terjadi di Indonesia lalu, kini bahkan barangkali hingga esok. "Sepertinya, kebobrokan birokrasi itu tidak ada habisnya deh. Maka selama itu pula, naskah ini tetap hangat atau layak dipentaskan," katanya ditemui usai pementasan.

Maka dari itu, katanya, selain sebagai hiburan, pementasan itu sebagai pengingat, agar masyarakat tidak lupa untuk melawan sistem birokrasi yang bobrok. "Nyatanya, program pemerintah mengampanyekan anti korupsi. Tapi faktanya berkata lain; bahkan korupsi tersistem secara berjama'ah," tandas mahasiswa semester 8 itu.

Konsep pementasan ini semi kolosal dengan melibatkan 30 aktor dan aktris. Ia mengaku menggarap sejak 3 bulan lalu. "Ini bagian dari proses pendewasaan. Meski masih ada yang kurang, tapi setidaknya kami yakin bahwa pementasan kami bagus," kata mahasiswa asal Jepara itu.

Salah satu apresiator, Ketua Forum Teater Kampus Semarang Rizki mengatakan, pementasan "Ndoro Luwak" kali ini termasuk menarik. Penggarap mampu menampilkan kejutan-kejutan yang tidak terduga. "Seperti contoh kedatangan tokoh orang asing, di naskah itu sebagai penyidik. Tapi ternyata dia kok malah orang gila, yang lari dari rumah sakit jiwa," katanya.

Menurut Rizki, satu sisi bagus ada kejutan. Namun penggarap kurang jeli dalam hal dramaturgi. "Masak orang gila mampu menampilkan kecerdasan sebagaimana orang waras sekelas penyidik? Ia juga bisa membaca peta politik. Tentu saja, bagi saya ini tidak logis," katanya.

Kritik pedas juga muncul dari Romi Teater Cabang Unisbank. Menurutnya, pementasan itu bagus. Namun, ending-nya terlalu bertele-tele. "Tidak ada greget. Adanya banyak ketawa, sehingga isi cerita amblas ditelan modifikasi penggarapan," katanya.

Sementara penonton dan pengamat teater, Day Milovich mengatakan, pementasan "Ndoro Luwak", seperti umumnya drama panggung yang mengangkat kritik sosial berbentuk komedi tragedi, terjebak pada tarik-menarik antara menyampaikan pesan dan kerepotan membenahi dramaturgi di atas panggung.

Realisme, lanjutnya, jelas bukan karena ada dewa-dewa dan raja yang kekejamannya tidak mungkin ada di dunia. Ini seperti pertarungan abadi antara kaidah seni rupa panggung melawan beban pasar untuk menghadirkan tontonan segar.

"Naskahnya tidak diadaptasi dengan konteks kekinian, akhirnya pemainnya kelamaan menikmati improvisasi, tidak lagi menampilkan tragedi politik di balik komedi, justru acting berubah menjadi bahan tertawaan yang melelahkan," katanya.

Menurut Day, penonton tidak butuh pesan kebaikan, tidak butuh nasehat. Penonton justru mencari penjelajahan yang belum-pernah, unik, dan mengesankan. Risetnya harus matang. "Kalau sudah menyamakan pementasan teater dengan drama, lebih suka meng-copy lelucon dan menyajikan pesan datar kepada publik, jadinya seperti kelompok komedi," pungkas artworker asal Rembang itu.

Namun demikian, secara keseluruhan, pementasan berdurasi lebih dari satu jam itu cukup berhasil. Didukung kostum, make up dan ilustrasi yang atraktif. Pasalnya, mampu menahan penonton untuk tidak beranjaknya dari tempat duduknya. Barangkali itu adalah salah satu bukti bahwa pementasan tersebut mampu menyuguhkan hiburan yang tidak membosankan. (gis)