Bisa Melihat Panggung Jatilan di Traffic Light
SEMARANG- JEJAK kesenian daerah bernama Jatilan masih dapat dilihat kala kita melintas di sejumlah titik di Kota Semarang, di antaranya di Traffic Light Kaligarang, tepatnya di Jembatan Banjir Kanal Barat. Namun sayang, pelaku kesenian itu tak murni berkesenian, melainkan mereka cari makan.
Traffic Light telah menjadi panggung jatilan. Kesenian daerah yang (barangkali) dinilai banyak orang modern, ini kampungan itu, tetap semangat menghelat pertunjukan singkat sebelum lampu bangjo kembali hijau.
Bahkan tak perduli terik juga tak berharap pengendara tertarik.
Mereka rela mandi keringat menjadi urban di kota demi sesuap nasi, anak dan istri. Tak jarang, perjuangannya hanya "dilempari" recehan oleh pengendara yang lewat, itu pun jika si tuan pengendara sempat.
Itulah sebuah kondisi di mana kesenian daerah tersengal, sesak nafas dan cari beras di tengah gempuran arus budaya kapitalisme.
Kurangnya interes bagi pemerintah dan masyarakat terhadap kesenian tradisional menjadi kesekian sebab eksistensi kesenian daerah bernama Jatilan ini terancam punah.
Itulah yang menimpa group Jatilan "Margo Budoyo" asal Ambarawa. Lantaran sepi job di kampung, mereka berjuang menjadi urban di Kota Semarang. Ngamen adalah solusi singkat yang mereka tempuh. Mereka menjadikan Traffic Light menjadi panggung pementasan. Hanya bermodal jaran kepang, cambuk, gamelan dan kendang mampu menghidupi keluarganya di desa. "Di kampung sepi job, kami manfaatkan ngamen di kota," ungkap Sutomo pemegang gamelan.
Sekeluarga
Jangan terhenyak jika mengetahui ternyata 7 personil group Jatilan yang biasa mangkal di Bangjo Kaligarang atau Jembatan Banjir Kanal Barat ini adalah sekeluarga. Dijelaskan Eko yang juga menjadi koordinator group jatilan itu mengatakan, bahwa anggotanya itu masih berhubungan darah. Sutomo (bapak), Krisman (pak Dhe), Riwayati (istri), Yanto (Kakak), Prasetyo (anak) dan Febri (menantu kakak). "Namanya cari makan ya gimana lagi mas. Di Semarang kami ngekos," kata Eko.
Hidup bertumpu pada kesenian daerah macam jatilan itu tak bisa diandalkan lagi. Meski keberadaan kesenian ini sempat mewarnai khazanah kesenian tradisional nusantara. Namun, di tengah kemajuan zaman dan derasnya arus kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia, berangsur-angsur membuat para pelaku seni tradisi, khususnya, Jatilan atau kuda lumping mulai meninggalkan pekerjaannya. Mereka menganggap hidup dalam berkesenian tak bisa dijadikan tumpuan bagi keluarga di kampung asalnya.
Sepinya order manggung, terlebih ditambah rendahnya kreativitas para pelaku seni Jatilan membuat keberadaannya benar-benar di ujung tanduk. Betapa tidak, untuk bisa mendapatkan penghasilan, tak sedikit para pelaku seni jatilan ini harus turun ke jalan jalan kota. "Biasanya kami ngamen di Jogja dan Semarang," tambah Eko.
Tidak hanya oleh kesenian kontemporer yang berasal dari luar negeri, tapi juga oleh kesenian-kesenian modern karya anak-anak muda sekarang. Eko tidak memungkiri jika kesenian jatilan ini terkesan monoton. "Saya sendiri juga bingung bagaimana membuat anak muda sekarang menyenangi kesenian ini dan tetap eksis di tengah masyarakat, karena biasanya orang mengganggap monoton," katanya.
Di daerah Ambarawa, kata Eko, group jatilan ini dulu sering diundang untuk mengisi acara hajatan pernikahan, acara di kecamatan atau agustusan. "Tapi, sekarang sama sekali melempem alias dicuekin,” imbuh pria tiga anak satu cucu ini.
Lumayan, dengan cara ngamen di kota seperti inilah, bagi Eko, selain bisa menggaji perhari Rp 25-30 kepada personilnya, dia juga beranggapan ngamen pun termasuk melakukan upaya melestarikan seni tradisional Jatilan. "Minimal memperkenalkan kembali sekaligus menggugah masyarakat untuk kembali mencintai seni jatilan tersebut," cetus Eko yang setiap hari pentas sejak pukul 08.00- 15.00 itu. (Abm)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar