Sponge's Bob: Masalah adalah Inspirasi Kebahagiaan

Oleh: Day Milovich

Mengapa anak-anak menyukai Sponge’s Bob? Sponge’s Bob sering mengajarkan pada penonton untuk tidak terjebak pada moralitas ekstrem, selalu mengajak mencapai kebahagiaan, dan menyelesaikan masalah dengan cara berbeda.

Sponge's Bob selalu bahagia. Kalaupun menangis, dia gampang terkejut dan menemukan gagasan (sekecil apapun), lantas merubah suasana dan alur cerita menjadi semangat, untuk bahagia. 

Pada episode Truth of Square, dia bilang, "Saat kamu sedang melakukan sesuatu yang kamu cintai, dan kamu bangga melakukannya, maka kerja menjadi seperti bermain." 

Menggembirakan, bahagia, apapun masalahmu. Mentalitas ini hanya tertanam pada diri seorang anak kecil, mereka tak lelah belajar, tak takut mencoba.

Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan sebagai keadaan eudaimonia, ceria dan hidup dengan baik. Kalau ingin bahagia seperti itu, jadilah tuan bagi dirimu sendiri. Sponge's Bob juga memilih temannya sendiri, memilih seleranya, dan segala hal yang ingin dianggapnya sebagai ‘masalah’.

Uniknya, semua masalah dihadapi dengan cara yang selalu berbeda. Etika Aristoteles adalah virtue dan vice, kebaikan yang berdiri setimbang, di antara dua hal yang ekstrem. Atau kondisi yang tidak berimbang.

Tuan Krab yang terobsesi dengan kekayaan ("Hai, Namaku Krab. Aku suka uang!"), seniman kasir yang eksentrik ("Tidak bisakah kau membiarkan aku tenang, Sponge's Bob?"), Sandy yang tergila-gila pada sains ("Semua bisa diatasi dengan pengetahuan"), genius kriminal Plankton yang ingin mencuri resep rahasia Krusty Krab, atau si lugu Patrick, sahabatnya, ("Aku lebih memilih persahabatan daripada pengetahuan").

Hampir semua orang menjalani kehidupan seperti ini, di antara pertemanan yang tarik-menarik, kerumunan kondisional, identitas yang plural. Sponge's Bob dan segala tindakannya adalah representasi kebanyakan orang. Sampai di sini, melihat Sponge's Bob adalah melihat kebanyakan orang.

Moralitas Sponge's Bob adalah belajar dari pengalaman-pengalaman kecil, terjebak dalam prasangka sendiri, namun tidak pernah gagal menjadi bos bagi dirinya sendiri. Sponge's Bob mengerti, dirinya tidak sempurna, tetapi selalu tersenyum setiap masalah berhasil dia atasi.

Jika Anda perhatikan episode demi episode, tampaklah Sponge's Bob yang tak pernah menggunakan pikiran ataupun persepsi orang lain. Dia lebih memilih terjebak asumsinya sendiri, yang sering mendatangkan masalah. Dia tidak pernah mengatakan kebenaran verbal.

Tontonan semacam ini akhirnya menembus bawah sadar penonton. Justru Sponge's Bob berhasil melakukan sentilan dan sindiran yang membuat penonton menertawakan dirinya sendiri. Berbeda dari kebanyakan lelucon di televisi dan film Indonesia yang masih bertaraf clown (menciptakan badut yang menjadi bahan tertawaan) atau lelucon zoom out (yang dilembagakan melalui tontonan sketsa), baru lucu setelah kamera dizoom out.

Menerima realitas yang mengenaskan dari seorang koki pengalah, berarti membuka kedok keseharian. Sponge's Bob pernah berkata, "Aku menemukan kegelapan dalam diriku. Aku gembira menemukan kegelapan itu, tetapi aku harus selesaikan ini, agar hariku menjadi indah." Dia bukan malaikat yang penuh cahaya, melainkan si lemah yang memiliki will to power untuk menjadi tuan bagi diri sendiri. Dia membebaskan dirinya dari konsep master-slave morality.

Sponge's Bob tak berada di bawah tekanan moralitas tuan dan pesuruh. Nilai sosial hanyalah bentukan, butuh improvisasi, bukan tetapan sebelum bertindak, ataupun konstanta sebuah reaksi atas perlakuan orang lain. Dia selalu menemukan ‘jalan’ di balik semua perlakuan orang-orang itu, jalan menuju kebahagiaan, yang tidak pernah sama, yang tidak mengadili orang lain.

Teriakan singkat yang sering dia ulang, "Aku adalah Sponge's Bob yang bahagia". Semua masalah adalah inspirasi kebahagiaan, begitulah prinsip Sponge’s Bob. (**Harsem/LSP)