KEBIJAKAN pemerintah kepada para petani tembakau dianggap tidak adil. Pemerintah dikatakan mengeruk uang dari perasan keringat petani tembakau. Kebijakan yang ada dinilai "mendua". Pasalnya, satu sisi melalui cukai rokok, pemerintah untung hingga puluhan trilyun rupiah. Namun di sisi lain pemerintah beberapakali mengeluarkan regulasi yang “membunuh” petani tembakau. Mereka tak peduli persolan yang sedang dihadapi petani tembakau.
Demikian diungkapkan dalam sebuah diskusi dan workshop bertajuk “Mensejahterakan Petani Tembakau", di Hotel Pandanaran, Senin (14/11). Workshop yang digagas oleh LSM Progress ini diikuti sekitar 100 peserta dari perwakilan petani dan pengurus APTI dari Klaten, Temanggung, Semarang, Blora, Grobogan, Demak, Wonosobo, Boyolali dan Kendal.
Menurut perwakilan dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia cabang Grobogan, Nurwanto, mengatakan dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCT) yang tak pernah dirasakan oleh petani terasa tidak imbang dan tidak adil. Menurutnya, desa desa penghasil tembakau tak mendapatkan bantuan, sementara desa lain yang tak menghasilkan justru memperoleh bantuan. "Anehnya, dana bantuan itu malah digunakan untuk program kelapanisasi. Para petani diberi kelapa dan dibujuk agar berganti menanam kelapa. Ini jelas ngawur dan menggelikan. Bukankah semacam itu namanya petani tembakau “dibunuh” kebijakan?" kata Nurwanto di depan forum.
Dikatakannya, tahun 2010 dan 2011 total bagi hasil ini secara nasional sebesar Rp 1,2 triliun dari total penerimaan cukai tembakau senilai Rp 63,2 triliun. Provinsi Jawa Timur terbanyak mendapat jatah sebesar Rp 618,75 miliar, disusul Jawa Tengah Rp 288,12 miliar dan Nusa Tenggara Barat Rp 131,59 miliar. "Kami sendiri di Kabupaten Grobogan hanya mendapat kucuran DBHCT sebesar Rp 4,6 miliar. Itu pun penyalurannya tidak tepat sasaran," tuturnya.
Hal senada juga disampaikan perwakilan Forum Petani Tembakau Vorstenlad Klaten, Wening Swasono mengatakan, pemerintah dengan santai membiarkan petani tembakau berjuang sendiri. Hal itu bisa dicek baik dari proses tata produksi hingga tata niaga. Petani dibiarkan berhadapan langsung dengan para tengkulak dan perusahaan rokok yang menetapkan harga seenaknya.
Menurutnya, hal itu merupakan imbas dari langkah pemerintah yang meratifikasi Agreement on Agriculture (AoA) dari organisasi perdagangan dunia WTO. "Sehingga mengharuskan Indonesia tidak boleh melindungi dan menyubsidi petani tembakau. Lihat saja undang undangnya, yang diatur hanya komoditasnya, petani tidak," jelasnya.
Kebijakan pemerintah dalam beberapa hal memang sedang menjadi sorotan. Hampir tak ada peserta yang memuji pemerintah. Sindirian pedas juga dilontarkan oleh petani asal Temanggung dengan menggunakan peribahasa jawa. “Ibarate pemerintah ki mung gelem duite tapi ora gelem masalahe, (Ibaratnya pemerintah ini hanya mau uangnya saja, tapi tidak mau masalahnya)," lontar Budidoyo, petani tembakau asal Temanggung.
Sementara Ketua Departemen Advokasi Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Suseno mengatakan, hak petani perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Tanpa campur tangan pemerintah, maka petani tidak akan mampu bertahan lama. "Menstabilkan harga seperti dilakukan Bulog pada beras, bisa dilakukan dengan cara pemerintah harus menjadi pembeli. Hal itu diharapkan menjadi jembatan antara petani, pabrik dan tata niaga berjalan stabil dan transparan,” tandasnya.
Dalam acara itu juga dihadiri Organisasi Tani Jateng (Ortaja), Organisasi Wilujeng Kendal, Forum Perjuangan Petani Batang, LSM Pattiro Kendal, Solidaritas Perjuangan Petani Temanggung (SPPT), SRMI Kab Kendal, Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK) dan Petani Tembakau Lereng Perahu Kendal. (abm)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar