Blogger Widgets

Inilah Jual Beli Vonis Hukuman di Pengadilan Tipikor Semarang

Diposting Unknown jam 10.05
SEMARANG- Ironis sekali rasanya, ketika dewan majelis hakim yang seharusnya menjunjung tinggi tegaknya hukum, tapi ternyata justru menjadi mafia hukum dengan cara memperjualbelikan vonis hukuman.

Dalam kasus suap mantan Ketua DPRD Grobogan Muhamad Yaeni terhadap hakim-hakim nakal di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang ini cukup membuat bulu kudu merinding.

Majelis hakim, saat itu, masing-masing; Lilik Nuraini (ketua majelis), Kartini Juliana Marpaung dan Asmadinata (hakim anggota), meminta uang Rp 500 juta untuk status vonis bebas terhadap terdakwa Yaeni.

Hal itu terungkap dari keterangan saksi Anggota DPRD Grobogan Heru Santosa yang dihadirkan oleh jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang terdakwa Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak (nonaktiv) Heru Kisbandono di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (14/1/2013).

"Saya diminta Sri Dartutik (adik terdakwa M Yaeni) untuk menyiapkan uang Rp 400-500 juta. Uang sejumlah itu, kata Dartutik, untuk membayar vonis bebas (terhadap M Yaeni)," kata saksi Heru Santoso
.
Santoso meneruskan, ada opsi lain, jika hanya membayar Rp 250 juta, maka Yaeni akan dijatuhi hukuman minimal yakni satu tahun penjara. "Atas hal itu, Sri Dartutik kemudian mengatakan akan melakukan lobi kepada majelis hakim untuk melakukan penawaran," paparnya.

Pada perkembangan berikutnya, Santosa diberitahu oleh Sri Dartutik bila permintaan majelis hakim Rp 250 juta (untuk vonis 1 tahun) itu turun menjadi Rp 150 juta. "Saya sendiri mulanya akan dititipi uang (suap Rp 150 juta-red) itu. Namun saya menolaknya, akhirnya uang itu dititipkan kepada Sukiman (Ayah kandung Yaeni)," ungkap Santosa.

Terkait dari mana uang tersebut berasal? Santoso menjelaskan, uang Rp150 Juta yang digunakan oleh Sri Dartutik untuk menyuap majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang tersebut didapat dari sejumlah donatur. Di antaranya bantuan dari Partai Politik PDIP dan iuran bantuan dari sejumlah anggota DPRD Grobogan.

Secara rinci, lanjut Santosa, jumlah uang yang berasal dari PDIP Rp135 juta, sedangkan Rp 15 juta berasal dari iuran anggota DPRD Grobogan. "Uang Rp 135 juta itu berasal dari Yaeni, dikatakan Yaeni bila uang milik partai PDIP," ungkap Santosa.

Sementara uang Rp 15 juta dari sejumlah anggota dewan dari fraksi dan komisi-komisi di DPRD Grobogan. "Selain itu juga beberapa pejabat dinas Pemerintah Kabupaten Grobogan," ujarnya.

Santosa sendiri mengaku hanya dimintai bantuan oleh Yaeni, untuk pengurusan uang yang akan diberikan kepada majelis hakim, komposisi; Lilik Nuraini (ketua majelis), Kartini Juliana Marpaung dan Asmadinata (hakim anggota) yang menangani perkara kasus korupsi dana perawatan mobil dinas DPRD Grobogan dengan terdakwa Yaeni.

Santosa berperan melakukan koordinasi dengan Sri Dartutik yang tidak lain adalah adik kanduk dari Yaeni. Sementara maklar hukum dalam kasus suap tersebut melalui Heru Kisbandono (terdakwa), seorang hakim ad hoc tipikor.

Dartutik Mengaku Jual Mobil

Sementara Sri Dartutik yang dihadirkan dalam sidang tersebut memberikan keterangan berbeda. Ia menyatakan uang Rp 150 juta itu merupakan uang hasil penjualan mobil pribadinya. "Saya jual mobil seharga Rp 117 juta, kemudian saya pinjam bapak (Sukiman, red) Rp 3 juta. Jadi total Rp 120 juta. Sedangkan sisanya Rp 30 juta saya tidak tahu uang tersebut berasal dari siapa," ujar Sri Dartutik.

Sri Dartutik mengakui bahwa ia telah meminta terdakwa Heru Kisbandono untuk menjadi perantara antara dirinya dengan majelis hakim yang mengadili Yaeni. Sri Dartutik menyatakan bahwa uang suap merupakan permintaan majelis hakim dengan besaran Rp 500 juta. Dengan uang tersebut, ia dijanjikan Kisbandono bahwa kakaknya nantinya akan divonis bebas.

Permintaan Rp 500 juta itu saat kakaknya masih diadili oleh majelis hakim dengan komposisi Lilik Nuraini (ketua majelis), Kartini Juliana Marpaung dan Asmadinata (hakim anggota). "Heru Kisbandono mengatakan bahwa kakaknya nanti akan divonis bebas, namun saya masih nego agar uang permintaan majelis itu bisa dikurangi," tandasnya.

Namun rencana pembebasan Yaeni gagal karena ketua majelis hakim yang menyidangkan diganti. Yakni dari Lilik Nuraini menjadi ke Pragsono. Pergantian majelis ini menyebabkan rencana semula gagal dilaksanakan, Pragsono menolak jika Yaeni dibebaskan. Pragsono menyatakan tetapkan memasukkan Yaeni ke Penjara.

"Kartini meminta uang ucapan terimakasih (suap, red) diturunkan menjadi Rp150 juta. Dengan janji bahwa nanti kakak saya (Yaeni, red) akan divonis ringan. Yakni hukuman minimal dari pasal yang dakwakan jaksa dengan vonis hukuman penjara satu tahun," tambahnya.

Setelah mendapatkan kepastian besaran uang, pada 17 Agustus 2012 Sri Dartutik berangkat dari Purwodadi Grobogan menuju Semarang. Yakni untuk menyerahkan uang kepada Kisbandono. Uang tersebut diserahkan di kantor Bank BCA Jalan Pemuda Semarang.

Setelah penyerahan uang, Sri Dartutik yang diantar oleh Sopir pribadi Yaeni, Suyatmo beranjak pulang. Sebelum Sri Dartutik sempat mampir ke Pasar Johar untuk berbelanja. "Namun karena barang yang saya cari tidak ada, saya memutuskan langsung pulang," tuturnya.

Malangnya, sebelum sempat mobil keluar dari pasar Johar, mobilnya dihadang oleh petugas KPK. "Disitulah saya ditangkap dengan tuduhan telah melakukan upaya suap kepada majelis hakim," tambahnya.

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Semarang (14/1) itu juga menghadirkan saksi lain, yakni Petugas KPK Aminudin, dan Suyatmo, sopir pribadi Mantan Ketua DPRD Grobogan Muhamad Yaeni. (Mughis/LSP)

 













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Korupsi


Siapa lagi? »

Peristiwa


Arsip Peristiwa »

Berita


Arsip Berita »

Modus


Arsip Modus »

Jeng-jeng


Arsip Jeng-jeng »

Kasus


Arsip Kasus »

Horor Kota


Arsip Horor Kota »

Kriminal


Arsip Kriminal »

Tradisi Budaya


Selanjutnya »

Politik Itu Kejam


Simak Selanjutnya? »

Komunitas Pembaca


*) Tulis peristiwa di sekitar Anda, kirimkan ke email redaksi kami: singautara79@gmail.com

Citizen Journalism


Siapa lagi yang nulis? »

Wong Kene


Arsip Wong Kene »